Proses Perceraian Antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia
- Tiffany Efny Tampubolon, S.H., LL.M.

- 7 Sep
- 9 menit membaca
Dalam perjalanan hidup, setiap orang pasti akan mengalami pertemuan dan perpisahan. Hal yang sama berlaku untuk ikatan antara pria dan wanita: mereka bertemu dalam pernikahan, berharap kebahagiaan, namun perpisahan bisa datang melalui kematian atau perceraian. Pernikahan adalah ikatan suci yang mengikat dua insan dalam cinta. Namun, meskipun suci, tak dapat dipungkiri bahwa perpisahan antara suami dan istri—yang dikenal sebagai perceraian —masih terjadi.
Perceraian di Indonesia terjadi di semua lapisan masyarakat. Perceraian tidak lagi dianggap tabu atau memalukan. Pergeseran nilai-nilai sosial, derasnya arus informasi akibat globalisasi, dan tekanan ekonomi, semuanya berkontribusi pada meningkatnya angka perceraian. Meningkatnya kompleksitas kehidupan modern tampaknya menormalisasi perceraian sebagai realitas yang umum.
Perceraian dapat terjadi pada siapa saja, baik pasangan Indonesia maupun pasangan dalam pernikahan campuran. Bagi pasangan lintas budaya, perbedaan kewarganegaraan, budaya, dan latar belakang sosial seringkali membuat hubungan lebih rentan terhadap perpisahan. Banyak kasus menunjukkan bahwa pernikahan campuran antara warga negara Indonesia dan warga negara asing gagal mencapai tujuannya dan akhirnya berakhir dengan perceraian.

Dalam artikel ini, kami akan membahas proses perceraian di Indonesia bagi pasangan campuran di mana salah satu pasangan merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) dan pasangan lainnya merupakan Warga Negara Asing (WNA). Pembahasan akan dibagi menjadi beberapa subtopik:
Apa Itu Perceraian dan Undang-Undang yang Mengaturnya?
Perceraian adalah pemutusan ikatan perkawinan antara suami dan istri secara hukum, yang mengakhiri status mereka sebagai suami istri dan kehidupan rumah tangga mereka. Perceraian terjadi ketika salah satu atau kedua belah pihak memutuskan untuk berpisah dan tidak lagi memenuhi kewajiban perkawinan mereka.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) , perceraian diartikan sebagai perpisahan, putusnya hubungan perkawinan, atau putusnya ikatan perkawinan. Bagi sebagian besar pasangan, perceraian merupakan salah satu akibat yang paling tidak diinginkan. Perceraian dianggap sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan konflik, perselisihan, atau perbedaan yang tidak dapat didamaikan dalam suatu pernikahan.
Dalam Islam, perceraian disebut talak , yang berarti melepaskan ikatan perkawinan. Perceraian dalam Islam hanya diperbolehkan sebagai pilihan terakhir setelah segala upaya untuk mempertahankan rumah tangga telah dilakukan.
Pemutusan hubungan perkawinan di Indonesia diatur oleh beberapa sumber hukum. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , juncto Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam (KHI) , menetapkan bahwa suatu perkawinan dapat berakhir karena: a. Kematian; b. Perceraian; atau c. Putusan pengadilan.
Selanjutnya, Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: “Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi baik melalui talak (ucapan talak oleh suami) maupun berdasarkan gugatan cerai.”
Dalam praktiknya, banyak pasangan di Indonesia akhirnya memilih untuk berpisah. Alasan perceraian yang paling umum di Indonesia meliputi ketidakcocokan dalam berbagai aspek kehidupan, perbedaan nilai dan perspektif, serta perselisihan yang tak terselesaikan . Konflik yang timbul dari perbedaan ekspektasi, pilihan gaya hidup, atau bahkan campur tangan keluarga dan teman juga dapat menyebabkan perceraian.
Perceraian Harus Melalui Pengadilan
Memilih dan memutuskan untuk bercerai berarti menghadapi proses pengadilan. Hal ini karena perceraian yang sah secara hukum di Indonesia hanya dapat diajukan dan diproses melalui sistem pengadilan.
Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan , “Perceraian hanya dapat dilakukan di muka sidang pengadilan setelah pengadilan telah berusaha mendamaikan kedua belah pihak, tetapi tidak berhasil.”
Demikian pula, Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan: “Perceraian hanya dapat dilakukan di Pengadilan Agama setelah pengadilan tersebut berusaha mendamaikan kedua belah pihak, tetapi tidak berhasil.”
Prinsip ini juga berlaku untuk perceraian di Indonesia yang melibatkan perkawinan campuran , di mana salah satu pasangan adalah warga negara Indonesia (WNI) dan pasangan lainnya adalah warga negara asing (WNA). Perceraian tetap harus mengikuti prosedur hukum yang sama dengan perkawinan antara dua orang Indonesia.

Kasus tersebut harus dibawa ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri , tergantung pada agama yang mengatur pernikahan tersebut .
Perlu dicatat bahwa Kedutaan Besar Republik Indonesia tidak memiliki wewenang untuk memproses perceraian. Hanya pengadilan Indonesia—baik pengadilan agama maupun umum—yang berwenang memutus perkara perceraian sesuai dengan hukum.
Namun, banyak pasangan sering merasa bingung atau kewalahan saat menghadapi proses perceraian. Bagi masyarakat umum, mengajukan gugatan cerai tidak selalu mudah, dan untuk pernikahan campuran, prosedurnya bisa menjadi lebih rumit, menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan sumber daya keuangan.
Perceraian memang tidak pernah mudah, terutama bagi perceraian di Indonesia yang melibatkan perkawinan campuran . Salah satu tantangan paling umum adalah ketika salah satu atau kedua belah pihak tidak dapat hadir secara fisik di pengadilan, yang dapat menghambat proses perceraian secara signifikan.
Dasar Hukum Perceraian di Indonesia
Perceraian di Indonesia hanya dapat terjadi apabila terdapat alasan-alasan yang cukup untuk membuktikan bahwa suami dan istri tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami istri. Asas ini tertuang dalam Pasal 39 ayat (2) Undang- Undang Perkawinan , yang menyatakan: "Untuk dapat melakukan perceraian, harus terdapat alasan-alasan yang cukup yang menunjukkan bahwa suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami dan istri."
Lebih lanjut, Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan alasan-alasan rinci untuk melakukan perceraian di Indonesia, antara lain:
Salah satu pasangan berzina, menjadi pecandu alkohol, pecandu narkoba, penjudi, atau terlibat dalam perilaku merugikan lainnya yang sulit disembuhkan;
Salah satu pasangan meninggalkan pasangannya selama dua tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah, atau karena keadaan di luar kendali mereka;
Salah satu pasangan dijatuhi hukuman penjara lima tahun atau lebih setelah pernikahan terjadi;
Salah satu pasangan melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pasangannya;
Salah satu pasangan menderita cacat fisik atau penyakit yang menghalanginya memenuhi kewajiban perkawinannya;
Perselisihan dan pertengkaran terus-menerus antara suami dan istri tanpa harapan untuk rujuk; g. Suami melanggar syarat taklik talak (janji cerai bersyarat); h. Perubahan agama atau kemurtadan oleh salah satu pasangan yang menimbulkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
Ketentuan-ketentuan ini menjadi dasar hukum pengajuan gugatan cerai di Indonesia . Setiap alasan harus disesuaikan dan dibuktikan sesuai dengan keadaan pasangan.
Persyaratan Utama dan Proses Perceraian untuk Pernikahan Campuran (WNA dan WNI) di Indonesia
Perceraian di Indonesia yang melibatkan perkawinan campuran antara warga negara asing (WNA) dan warga negara Indonesia (WNI) memiliki dinamika tersendiri, karena menyentuh aspek hukum perdata internasional. Hukum yang berlaku bergantung pada yurisdiksi pengadilan tempat perceraian diajukan, serta hukum nasional para pihak yang terlibat.
Apabila gugatan cerai diajukan di pengadilan Indonesia, maka syarat, alasan, dan tata cara perceraian harus mengikuti hukum Indonesia, dengan tetap memperhatikan hukum nasional pasangan asing tersebut.
Persyaratan Umum Pengajuan Perceraian Antara WNA dan WNI di Indonesia:
Pernikahan tersebut harus sah secara hukum menurut hukum Indonesia.
Salah satu atau kedua belah pihak harus tinggal di Indonesia setidaknya selama satu tahun sebelum mengajukan gugatan.
Harus ada dasar hukum yang cukup untuk perceraian.
Perceraian harus diajukan ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri , tergantung pada agama para pihak.
Di Indonesia, ada perbedaan yurisdiksi yang jelas: Pengadilan Agama berwenang menangani kasus perceraian bagi umat Islam, sementara Pengadilan Negeri menangani kasus bagi non-Muslim.
Dalam praktiknya, proses perceraian dalam perkawinan campuran tidak jauh berbeda dengan perceraian antara dua warga negara Indonesia. Namun, ada beberapa hal khusus yang perlu diperhatikan oleh pasangan dalam perkawinan campuran:
Mempersiapkan permohonan cerai dalam Bahasa Indonesia (tidak ada kewajiban untuk menerjemahkannya ke bahasa asing).
Mengajukan permohonan cerai ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama di tempat tinggal penggugat.
Menyiapkan dokumen yang diperlukan, termasuk:
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) kedua belah pihak
Surat nikah atau buku nikah
Surat keterangan nikah agama (bagi non-Muslim)
Kartu Keluarga (KK)
Akta kelahiran anak (jika ada)
Perjanjian pranikah (jika ada)
Surat permohonan cerai
Memberikan bukti pendukung terkait alasan perceraian.
Menghadiri mediasi, karena pengadilan akan mengupayakan rekonsiliasi.
Jika mediasi gagal, persidangan dilanjutkan berdasarkan Hukum Acara Perdata.
Menghadirkan setidaknya dua orang saksi.
Menerima putusan cerai yang dikeluarkan pengadilan.
Bagi umat Islam: memperoleh Surat Keterangan Cerai ( Akta Cerai ) dari Pengadilan Agama.
Bagi non-Muslim: mendaftarkan perceraian di Kantor Catatan Sipil setempat.
Apabila penggugat berdomisili di luar negeri, maka penggugat harus menunjuk pengacara di Indonesia melalui surat kuasa yang dilegalisasi oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).
Perceraian Ketika Kedua Pasangan Tinggal di Luar Negeri
Apabila suami istri keduanya berdomisili di luar negeri, maka berlaku Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama :
Jika pernikahan dilakukan di Indonesia, perceraian dapat diajukan di Pengadilan Agama di tempat pernikahan dilangsungkan atau di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Jika pernikahan dilakukan di luar negeri, maka pernikahan tersebut harus dicatatkan terlebih dahulu di Kantor Urusan Agama (KUA) dalam waktu satu tahun sebelum mengajukan gugatan cerai.
Apabila perkawinan belum dicatatkan baik di KUA maupun Catatan Sipil, maka permohonan cerai tetap dapat diajukan ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat atau Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selain itu, Pasal 73 ayat (3) UU Pengadilan Agama mengatur jika kedua mempelai berdomisili di luar negeri, maka gugatan cerai harus diajukan ke pengadilan di wilayah tempat perkawinan dilangsungkan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Tantangan Umum dalam Perceraian antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia di Indonesia
Perceraian di Indonesia yang melibatkan perkawinan campuran antara warga negara asing (WNA) dan warga negara Indonesia (WNI) seringkali menimbulkan komplikasi hukum dan sosial. Oleh karena itu, penting bagi pasangan dalam perkawinan internasional untuk memahami sepenuhnya peraturan yang berlaku sebelum memulai prosesnya.
Berdasarkan praktik, setidaknya ada tiga permasalahan yang paling sering muncul selama proses perceraian di Indonesia bagi pasangan campuran:
Izin tinggal ( izin tinggal ) dari pasangan asing;
Kewarganegaraan dan hak asuh anak terhadap anak yang lahir dari perkawinan;
Pembagian harta perkawinan, khususnya aset tidak bergerak seperti tanah, rumah, atau bangunan.

Masalah Izin Tinggal
Salah satu tantangan utama bagi pasangan WNA dalam kasus perceraian berkaitan dengan status keimigrasian mereka. Warga negara asing biasanya memegang Izin Tinggal Terbatas (ITAS) atau Izin Tinggal Tetap (KITAP) yang disponsori oleh pasangan WNI mereka, melalui skema visa keluarga. Ketika proses perceraian dimulai, status sponsor ini secara hukum tidak lagi berlaku.
Akibatnya, pasangan asing tersebut mungkin menghadapi kesulitan administratif, seperti penolakan perpanjangan izin oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Dalam praktiknya, banyak warga negara asing kehilangan atau tidak dapat memperpanjang izin tinggal mereka setelah perceraian diresmikan. Tanpa segera menyesuaikan status keimigrasian mereka (misalnya, mengalihkan sponsor ke perusahaan, kegiatan bisnis, atau mengajukan izin tinggal mandiri), mereka berisiko melanggar hukum keimigrasian—yang dapat mengakibatkan denda, deportasi, atau bahkan masuk daftar hitam.
Untuk menghindari risiko ini, pasangan sebaiknya mempersiapkan strategi izin tinggal sejak awal proses perceraian. Hal ini meliputi peninjauan masa berlaku izin tinggal, pencarian sponsor alternatif, dan konsultasi dengan kantor Imigrasi atau penasihat hukum yang kompeten. Idealnya, penyesuaian ini dilakukan sebelum putusan perceraian berkekuatan hukum tetap.
Masalah Hak Asuh Anak dan Kewarganegaraan
Isu krusial lainnya dalam perceraian di Indonesia adalah status anak dari perkawinan campuran. Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan , anak dari perkawinan campuran dapat memiliki kewarganegaraan ganda hingga usia tertentu. Perceraian seringkali menimbulkan perselisihan mengenai apakah seorang anak harus tetap tinggal di Indonesia, pindah ke luar negeri, atau mempertahankan kewarganegaraan tertentu.
Hak asuh anak juga sensitif. Pengadilan Indonesia umumnya memberikan hak asuh anak di bawah 12 tahun kepada ibu, tetapi dalam pernikahan campuran, faktor-faktor lain seperti domisili, kemampuan finansial, dan kehadiran orang tua juga diperhitungkan. Jika salah satu orang tua tinggal di luar negeri, penerapan hak asuh dan kunjungan menjadi rumit, membutuhkan pengaturan hukum dan logistik tambahan.
Pembagian Harta Perkawinan
Pembagian harta bersama perkawinan merupakan masalah lain yang sering terjadi, terutama jika tidak ada perjanjian pranikah. Secara umum, hukum Indonesia menganggap aset yang diperoleh selama perkawinan sebagai harta bersama. Komplikasi muncul ketika aset-aset ini berupa harta tak bergerak (tanah, rumah) karena orang asing dilarang memiliki tanah hak milik di Indonesia.
Seringkali, properti didaftarkan atas nama pasangan Indonesia, meskipun pasangan asing tersebut berkontribusi secara finansial. Hal ini membuat pembagian harta dalam proses perceraian menjadi sangat sulit, terutama tanpa bukti kepemilikan bersama yang terdokumentasi. Masalah ini semakin rumit karena adanya perbedaan antara hukum Indonesia dan hukum nasional pasangan asing. Misalnya, beberapa negara menerapkan aturan "harta bersama" (pembagian 50-50 secara default), sementara Indonesia mewajibkan bukti kontribusi dan legalitas kepemilikan. Mediasi sangat disarankan untuk menghindari litigasi lintas batas yang berkepanjangan.
Tantangan Lainnya
Kesulitan tambahan meliputi:
Salah satu atau kedua pasangan tidak dapat menghadiri sidang pengadilan di Indonesia;
Kesulitan mengumpulkan dokumen-dokumen penting yang berada di luar negeri;
Perbedaan antara sistem hukum Indonesia dan kerangka hukum asing.
Karena tantangan-tantangan ini, menyewa pengacara ( pengacara/advokat ) sangat disarankan dalam proses perceraian di Indonesia , terutama untuk pernikahan campuran. Bagi pasangan yang tinggal di luar negeri, perwakilan hukum wajib, dengan surat kuasa yang dilegalisasi oleh Kedutaan Besar Indonesia (KBRI). Pengacara akan menangani seluruh proses—mulai dari penyusunan dan pengajuan permohonan, menghadiri sidang, menghadirkan saksi dan bukti, hingga mendapatkan putusan cerai dan akta cerai yang final.
Catatan Akhir
Meskipun perceraian dapat menjadi solusi yang diperlukan ketika pernikahan tidak dapat dipertahankan lagi, prosesnya seringkali menimbulkan kesulitan yang tak terduga. Dengan memahami prosedur spesifik dan tantangan umum perceraian di Indonesia untuk pernikahan campuran , pasangan dapat lebih siap menghadapi realitas hukum dan praktis, baik selama maupun setelah perceraian.
Pada prinsipnya, persyaratan dan proses perceraian antara WNA dan WNI tidak jauh berbeda dengan pasangan Indonesia. Namun, pasangan yang tinggal di luar negeri harus siap menunjuk pengacara di Indonesia untuk mengelola prosesnya secara efisien dan sah.
*******
Catatan : Artikel ini ditulis hanya untuk tujuan edukasi dan informasi . Artikel ini bukan merupakan nasihat hukum dan tidak boleh dijadikan pengganti bimbingan profesional. Proses dan hasil perceraian di Indonesia dapat sangat bervariasi, bergantung pada fakta, keadaan, dan permasalahan hukum masing-masing kasus. Untuk mendapatkan nasihat yang akurat dan sesuai kebutuhan, penting untuk berkonsultasi langsung dengan pengacara berkualifikasi yang dapat menilai situasi spesifik Anda.







Komentar